Tips Menulis Buku Fiksi Pertama Lu
Published by adhitya on Wednesday, May 2, 2007 at 10:51 PM.
Dari Gua
Pre-production, production dan post-production.
Ini adalah tiga fase penulisan buku yang dalam masing-masing fase, ada hal-hal yang bisa membantu lu membuat buku yang baik….setidaknya baik versi pengalaman gua. Ini mungkin bukan tips yang terbaik yang lu denger tapi yang terbaik yang gua tahu. Penulis-penulis lain yang punya pengalaman beda mungkin akan gak setuju dengan isi blog ini, tapi again, ini adalah yang gua alami.
Di sini gua juga pengen memanage expectation orang karena normally orang yang mau menulis buku itu menggebu-gebu dan ditakutkan tidak memperhatikan beberapa elemen penting. Apalagi di jaman sekarang di mana buku fiksi itu sudah overrated kalo gua bilang.
______________________________________________________________
I. Pre-Production
I.1 Ide Cerita
Ada 2 alasan besar kenapa orang beli buku lu:
- Ide cerita lu
- Cara lu menuturkan cerita.
Di section ini kita akan bahas ide cerita dulu.
Fiksi: Beberapa macam ide cerita fiksi yang bagus adalah
- Yang beda dari yang lain. Ide cerita yang unik lumayan bikin orang penasaran.
- Sesuatu yang mendasar dan terjadi di setiap orang.
- Atau gak perlu beda dari yang lain tapi lu ambilnya dari sudut pandang lain.
Elu dituntut untuk melatih diri menjadi kreatif. Jangan berhenti bertanya ’kenapa?’ dan ’bagaima jika...?’
Yang harus dihindari dari persepsi gua adalah:
- Topik yang udah banyak orang bahas.
- Membuat karya fiksi dari pengalaman sendiri.
Orang-orang yang nulis pengalaman pribadi, biasanya jarang memiliki kemampuan untuk menulis novel kedua (Ini bukan teori, ini pengamatan dari pengalaman seseorang). Semua isi perutnya udah abis disebar-sebar di buku pertama. Kalau pun iya, biasanya buku kedua terjual lebih edikit dari buku pertamanya.
Penulis yang konsisten memberikan ide fiksi tidak akan memiliki masalah memulai buku keduanya karena mentalnya penulis.
Nah gua gak bilang bahwa lu gak boleh memasukkan pengalaman pribadi lu ke dalam fiksi lu. Terserah elu itu mah. Toh ada beberapa buku yang seperti ini yang juga gemilang. Andrea Hirata men-tetralogikan pengalaman hidupnya dalam karya :
Laskar Pelangi
Sang pemimpi
Edensor
yang terakhir belum dia reveal apa judulnya
Ini diakui secara publik lho. And you know what? Bukunya bagus! Gaya ceritanya bagus. Ide ceritanya (pengalaman hidupnya) bagus. Ternyata gua lihat bahwa bedanya dia dengan yang lain adalah bahwa ide ceritanya inspiratif. Kata seseorang yang komentar di comment post ini, Salman Rushdie juga sering make pengalaman pribadinya dan bagus. Good for him then.
Jadi terserah kita. Kalo Kita mikir pengalaman pribadi kita bisa memberi hikmah / menghibur / menginspirasi orang banyak dalam bentuk fiksi, silahkan tulis. Kalo nggak, mending jangan saran gua.
kocak.
Tips memilih topik untuk non fiksi adalah:
1. Pengalaman lu yang unik yang gak dialamin banyak orang
2. Hindari kecenderungan memamerkan sesuatu yang orang banyak gak punya karena nanti lu akan kehilangan sense of belongingnya pembaca.
3. Persepsi lu akan sesuatu. Isman Suryaman dengan ’Bertanya Atau mati’ adalah contoh yang baik dalam penulisan on-fiksi yang tidak menceritakan pengalaman pribadi tapi lebih ke persepsi dia akan segala seuatu.
I.2. Target Audience
I.3. Judul
Tema adalah cerita lu dalam 1 kalimat
Judul adalah cerita lu dalam 1, 2 atau 3 kata
Kalo gua, jujur aja gua udah bikin 3 buku dan sampe sekarang masih gak becus aja nyari judul. Nyari tema sih oke. Ngembangin tema ke cerita oke. Tapi nyusutin dari tema ke judul? I am total crap at it.
II. Production
Dalam production, ada 2 hal yang penting. Penulisan dan kritik.
II.1. Penulisan
II.1.1. Penokohan (matrix)
Nama | Peran | Background | Kondisi psikologis | Kondisi fisik |
Rani | Utama | Lulus dari perbanas bareng tokoh2 lain | Ambisius, terbayang2 olehj kekejaman sang ayah, dll | Rambut merah sebahu, tinggi, kurus, sawo matang, dll |
Julius | Utama | Lulus perbanas 1 tahun lebih cepat dari rani | Punya 2 kepribadian tapi dia gak sadar akan hal itu, baik, dll | Cepak, punya luka di tangan kiri, tatao di tangan kanan |
Rahmat | pendukung | Temen rani di perbanas, kerja di toko | kocak | Keriting. |
XXX | ||||
YYY |
II.1.2. Struktur Cerita
Metode
Drama 3 babak berkomposisikan:
Babak 1: perkenalan masalah
Babak 2: masalahnya
Babak 3: penyelesaian
Setelah gua banyak baca, setidaknya gua pribadi mendapati bahwa buku yang tamat gua baca adalah buku-buku yang babak 1-nya singkat dan mampu memperkenalkan masalah dalam bukunya dalam jumlah halaman yang gak terlalu banyak. Tapi ini juga bukan pedoman. Ambil da Vinci Code-nya Dan Brown. Gua mendapati bahwa di akhir setiap bab selalu ada pertanyaan-pertanyaan yang membuat kita meneruskan membaca ke depannya. Itu bagus. Misterinya berlapis-lapis tapi masing-masing misteri itu gak bertele-tele. 600 halaman tu gak kerasa. Ada novel yang masalahnya hanya muter-muter di situ tapi dikemas dalam 700 halaman seperti the Historian. Itu buku gua tinggal di halaman 600 karena gua gak kuat. Buku itu membutuhkan 250 halaman untuk bilang bahwa tubuhnya drakula mencari kepalanya, yang mana udah bisa gua tebak dari 50 halaman pertama dari 250 halaman itu.
II.1.3. Konvergensi cerita
Kalo gua pribadi, gua gak akan mulai menulis sebuah buku fiksi sebelum gua tahu endingnya seperti apa. Ninit Yunita, penulis testpack punya metode yang lebih efektif di mana dia mulai menulis setelah minimal 70% yakin akan endingnya. Minimal jika ending berubah, perubahan itu gak jauh-jauh amat.
II.1.4. Gaya/Cara bertutur
Seperti yang gua bilang ada 2 hal yang pada akhirnya membuat buku lu dibaca: ide cerita dan gaya nulis lu.
- jangan terlalu ingin instan langsung bikin buku. Latihan dulu di blog atau di mana pun, akan bisa.
- rajin-rajin baca buku fiksi / non-fiksi. Perhatikan bagaimana cara penulis-penulis lain bercerita. Bagiamana mereka mendeliver cerita mereka, bagaimana mereka mengerem dan menggas cerita untuk mendapatkan suspense pembaca. Bahasa formal/non-formal yang bagaimana yang mereka bungkuskan pada cerita mereka. Semua itu penting untuk disimak.
Untuk nulis lu butuh 2 hal. Talent dan practice untuk mengasah talent itu menjadi lebih baik.
II.2. Kritik
II.2.1. Ego Penulis
Tapi yang sering gua dapati adalah bahwa penulis-penulis pemula yang datang ke gua, egonya besar sekali sampai mereka gak terima masukan gua. Dan orang-orang ini pun ketika akhirnya menerbitkan buku mereka, gak terjual seberapa banyak ketimbang mereka yang mampu nerima input. Gua ceritain ini bukan karena nasihat gua adalah jimat tapi karena they wouldn't listen.
Setelah dialog dengan seorang editor terkemuka, kita berdua mendapati bahwa jaman sekarang ini banyak yang penulis pemula yang merasa karya pertamanya adalah maha karya tanpa cacat dan secara mengejutkan sulit sekali nasihatin mereka. Sulit sekali bagi mereka untuk menelan komentar
”karya kamu itu jelek.”
II.2.2. Feedback System
Sebaiknya lu punya feedback system sendiri. Maksudnya adalah sebuah mekanisme yang lu buat gimana caranya sehingga lu bisa menguji sejauh mana draft lu diterima di masyarakat. Untuk sharing aja, kalo gua:
- Setelah selesai draft 1 gua cari 6-10 orang yang gua gak terlalu kenal dan gua minta mereka baca dan minta input mereka.
- Input mereka ini akan menjadi bahan untuk gua kaji apakah gua ada ide dan gaya penulisan yang gua harus rubah. Perubahan ini menjadi draft 2.
- Setelah selesai draft 2, gua lakukan lagi ke 6-10 orang yang berbeda. Ambil input dari mereka lagi. Dan lakukan hal yang sama dengan #2.
III. Post-Production
Kalo lu pikir bahwa tugas lu nulis buku udah selesai di sini, salah. Justru 30% waktu total pembuatan buku jatuh di post-productionnya. Berikut adalah aspek-aspek yang lu harus kenali dalam post-production.
III.1. Supporting Elements
III.1.1. Cover
Pada kenyataannya, people do judge books by the covers. Di era di mana banyak buku yang bersaing untuk djual, peran cover mau gak mau jadi penting. Berikut adalah jenis-jenis cover yang gua klasifikasikan berdasarkan pengalaman gua.
- Simbolik. Contoh yang sangat bagus untuk jenis ini adalah 5 CM-nya Donny Dirgantara. Hanya ada tulisan 5 CM dengan all black dan ada emboss tulisan-tulisan lain. Hitamnya ini cowok banget dan bikin penasaran. Bagi gua covernya bagus banget. Tapi bagi gua, isinya not my cup of tea. Contoh lain yang simbolik adalah Soulate-nya Jessica Huwae. Simple, putih dan hanya ada mouse sebagai vocal point dari gambar. Very nice.
- Explicit. Gua dan Ninit sejauh ini cenderung explisit kalo milih cover. Ada gambar orang-orang karena kita pengen covernya ngerelate ke ceritanya. Bagi gua dari semua cover kita, yang paling bagus adalah cover testpack.
- Permen. Warnanya extreme pink, extreme red. Cover-cover seperti ini lumayan menonjol disbanding buku-buku lain ketika mereka dipajang berbarengan.
III.1.2. Back Cover Comments
III.1.3. Synopsis
Jaman sekarang ketika dia pergi ke gramedia untuk beli buku fiksi, dia bingung. Ada berbagai judul untuk semua genre dan segmen umur. Di sini lah pentingnya sinopsis 1 paragraf di cover belakang. Sinopsis itu tidak akan membantu buku lu terjual. Sinopsis itu akan membantu orang memutuskan apakah dia akan membeli buku lu atau tidak.
III.2. Publishing
III.2.1. Penerbit yang benar
Intinya gini: sampai dengan tahun 2003, penerbit itu masih melihat buku sebagai medium penyaluran karya sastra. Mereka tidak melihat bahwa buku bisa juga sebagai medium hiburan seperti Jomblo dan Lupus. Setelah tahun 2003 baru lah mereka sepertinya sadar bahwa buku juga medium hiburan. Lantas semua penerbit beramai-ramai mencari naskah yang menghibur. Keluar label metropop, teenlit, de el el.
Sebenernya ini sah-sah aja, tapi imbasnya kebanyakan penerbit menurunkan standar kualitas teknik menulis dan penceritaan. Padahal seharusnya mereka tidak melakukan ini. Dari pendapat gua, seharusnya yang terjadi dalam industri buku fiksi adalah:
- tetap menset standar yang tinggi untuk teknik penulisan
- membuka mata lebih lebar untuk genre-genre hiburan.
Gara-gara ini tidak dilakukan, sekarang banyak sekali buku yang beredar. Dan dari semua yang gua pelajari, gua bisa bilang banyak juga dari buku yang beredar itu sub-standard dalam aspek yang berbeda-beda. Nah di sini gua delete beberapa contoh yang gua temukan karena gua mendapati ada orang-orang yang merasa, kelemahan-kelemahan yang gua spot itu bukan kelemahan. Ya sudah silahkan percaya sama masing-masing.
Yang jelas, penerbit tidak ingin kehilangan kesempatan memiliki lupus kedua sehingga mereka tidak memperhatikan kualitas-kualitas yang selama ini mereka junjung. Padahal kalo kita liat lupus dulu, meski pun konyol, dia tetap memakai teknik menulis yang descent. Dulu penulis harus sabar editor baca naskah 3 bulan. Sekarang, kasus paling parah yang gua pernah tahu adalah masukin siang, sorenya di-approve.
Makanya, berikut adalah hal-hal yang harus dicermati dari penerbit:
- Jika approvalnya sangat cepat (1 hari), maka lu harus hati-hati. Logisnya, penerbit menerima puluhan jika tidak belasan naskah tiap hari. Kecil kemungkinan naskah lu bisa dibaca dalam 1 hari. Kalo responnya secepat ini, takutnya mereka gak care akan karya lu, mereka cuman gak pengen kehilangan kesempatan aja.
- Dan lu harus selalu cari penerbit yang care pada penulisnya. Jangan masukin karya fiksi lu ke penerbit buku pertanian. Gak cocok. Lihat baik-baik genre lu dan genre dari penerbit lu.
- Nisha Rahmanti yang pernah nulis Cintapuccino pernah bilang sesuatu yang valid : milih penerbit itu kayak milih pacar. Lu mesti cocok sama mereka. Ada beberapa penerbit yang sangat selektif dengan penulis-penulisnya sehingga penulis yang bernaung di bawah mereka tidak banyak. Tapi penulis-penulis yang mereka ambil sangat mereka sayang. Promonya didukung abis-abisan. Ada penerbit yang penulisnya sejuta umat. Tapi ketika lu telfon dan tanya bagaimana perkembangan mereka gak nanggep.
III. 2.2. Cara masukin buku ke penerbit
- Draft dijilid rapih. Ini agar halamannya gak lepas-lepas.
- Kasih 1 halaman sinopsis menjelaskan isi cerita lu. Ini pentig banget agar dalam waktu singkat penerbit bisa memutuskan apakah draft lu lebih layak dibaca ketimbang ratusan draft lain di meja mereka.
- Kasih ½ halaman A4 yang tentang mengapa menurut lu buku lu layak dibaca dan
diterbitkan. - Di dalam draftnya, pake halaman. Ini aja banyak yang melakukannya.
- Di dalam draftnya, pake daftar isi. Ini akan membantu penerbit menerka flow dari
cerita dalam buku lu. - Kalo bisa dateng ke penerbitnya dan kasih langsung ke editor. Kalo ini sih gua aja.
Gua lebih suka mereka ketemu gua in person, agar lebih meyakinkan. Kalo beda
kota, kasih aja lewat pos atau lewat email, tapi 5 poin di atas harus ada.
III.3. Marketing
’Yang penting gua nulis buku’
Ini gua bilang sebagai mental seniman tapi gak bisa jualan. Trus, mereka bilang
‘Oh sori, buku gua karya seni, gak komersil kayak lo. (bikin darah tinggi gak sih?) Yang penting gua nyumbang sesuatu ke khazanah sastra Indonesia.’
Nulis buku kalo gak dibaca juga mereka gak akan dapet manfaatnya kali. Ngapain kita bikin karya seni tapi gak ada yang baca? Karya seni kita gak akan ada gunanya kalo gak ada yang baca. Jujur gua punya prinsip bahwa penulis yang baik itu adalah penulis yang bukunya dibaca banyak orang dan bukan untuk alasan komersil. Rantainya:
‘ah penerbit X mah gencar promosi doang, isinya gak nyastra. Kita dong nerbitin karya sastra.’
Ini perkataan yang bener-bener pernah keluar dalam persaingan penerbit. Masalahnya, kalo kita nerbitin karya sastra, kita punya tanggung jawab lebih untuk masarin dengan lebih baik kan? Bukan kah karya sastra akan mencerdaskan kehidupan bangsa? Ini mereka gak lakukan.
Memang benar bahwa buku adalah karya seni tapi ketika karya seni itu dicetak 3000 kopi, karya seni itu berubah jadi prioduk massal yang mana kalo gak terjual, penulis akan rugi (baca rantai atas). Jadinya otak komersil kita juga mesti jalan. Otak yang komersil tidak melambangkan buku yang komersil juga kok. Otak yang komersil untuk karya tulis yang berseni akan menguntungkan semua pihak pembaca, penerbit dan diri kita sendiri untuk menjadi penulis yang lebih baik. Intinya: marketing itu penting dan mendukung kita menjadi penulis yang lebih baik.
III.3.1. Market your book
Berikut adalah hal-hal yang lu bisa lakukan untuk promo buku lu. Yang di bawah ini juga tanggung jawab departemen promo lu. Jadi jangan takut melakukan ini sendirian. Kalo penerbit lu bagus, departemen promonya biasanya ngerti ini:
- temu wicara / road show di kampus-kampus
- sediakan 50 kopi dan kirim ke media massa terkait untuk direview. Tapi ini gambling juga. Kalo buku lu jelek, lu dibantai.
- targetin beberapa radio dan lakukan talk show di sana. Sesuaikan segmen radionya
dengan segmen buku lu. Kalo bikin chicklit gak perlu ke radio dangdut. - Bikin blog.
- Gabung ke milis-milis, perkenalkan diri lu dan buku lu.
_______________________________________________________
Ya udah. Gitu aja. Semoga berhasil dengan buku pertama lu. Semoga REVISI DARI posting ini membantu.
Rgds, Adhitya