tips nulis fiksi by: adhitya mulya


Kritik

Percaya atau nggak, gua suka kalo karya gua dikritik. Gua suka, karena menurut gua, membuat sebuah karya itu sering kali kita silap-silap sedikit dan akhirnya menghasilkan karya yang tidak sempurna. Orang mengkritik karya kita karena mereka berhasil mendeteksi apa yang kita gagal deteksi. Itu adalah pembelajaran. Kalo kita gak suka dikritik, kita akan sulit menjadi penulis yang lebih baik lagi utk karya kedua kita.

Memang terdengar sempurna sekali untuk bisa senang sama kritik. Tapi percayalah gua butuh waktu yang lama untuk belajar senang sama kritik. Gua mulai nyadar ketika gua menimbangnya dan sadar bahwa kritik itu ada benarnya.

Beberapa penulis yang gua kenal sangat defensif dengan karyanya. Gua kritik satu hal tentang alur, seribu alasan mengular menjelaskan ini itu. Terus dengan sopan gua bilang, kalo gitu, kenapa alasan ini itu yang lu baru bilang, gak lu masukin di buku?

Dia bilang, lha pembaca harusnya ngerti dong.

Dari mana kata harus? Kalo karya kita gak jelas alurnya, ya kita ditinggal pembaca. Benar bahwa penulis yang menghibur adalah penulis yang meninggalkan ruang untuk imajinasi pembaca. Tapi itu di sektor-sektor seperti interpretasi karya, interpretasi tokoh, deskripsi dan lainnya. Tapi alur? Alur ya harus jelas kalo nggak, ya gimana pembaca bisa ngerti jalan ceritanya?

Berikut adalah tips-tips gua untuk menghadapi kritik:

1. Dengarkan baik-baik dan berterima kasih pada orang itu
Suatu hari gua pernah gak mau mengakui kesalahan yang bos gua deteksi dalam kerja. Dia bilang gini:

Tuhan menciptakan 1 mulut karena cukup 1 mulut untuk membuat orang lain sakit hati.
Tuhan menciptakan 2 telinga karena bahkan 2 pun orang sering gak mau denger.


Kebanyakan kritik memang valid dalam mendeteksi ketidaksempurnaan karya kita. Anggap itu sebagai pelajaran lu bisa milih untuk belajar dari kritik itu atau mau PD aja dengan diri sendiri. Yang bijak adalah bersikap imbang dan bijak. Tetap percaya diri DAN mendengarkan mereka. Karena inat satu hal:
Percaya diri boleh tapi diri ini pun tidak sempurna. Makanya kita juga harus percaya dengan orang lain juga karena siapa tahu kritik mereka berharga.

2. Kritik bisa juga datang dari perbedaan selera
Setelah menerima kritik, cerna baik-baik dan mulai pilah apa basis dari kritik itu. Kenapa pembaca X tidak suka? Di beberapa kasus, dia tidak suka hanya karena memang bukan selera kita. Makanya dari awal kita jangan defensif. Lha wong selera orang kan beda-beda dan gak mungkin kita bisa puasin semua. Dan gak mungkin 1 orang karya bisa memuaskan semua orang di dunia ini. Paolo Coelho cuman bisa memuaskan 11 juta pembaca. Dan Brown aja cuman bisa memuaskan 24 juta pembelinya. Gua baru baca 1 buku yang bisa memuaskan semua orang. Judulnya Al Quran.

Intinya: mau sampe jidat lu mekar, akan selalu ada pembaca yang kecewa. Sikapi ini dengan bijak juga. Jangan sampe terlena berlindung di kalimat 'ah itu kan selera mereka. selera gua beda'. Iya, kalo nulis gak untuk dibaca orang buat apa, ayam.

3. Gak Mau dikritik? Bikin feedback system SEBELUM karya itu jadi
Ini sudah gua singgung panjang lebar di posting sebelumnya. Secara mengejutkan banyak penulis yang tidak tahu bahwa melakukan ini sangat penting. Lebih parah lagi, banyak penulis yang nyadar akan pentingnya, tapi malas/takut melakukannya. Banyak juga yang buru-buru pengen cetak aja. Pada akhirnya buku yang diterbitkan kurang maksimal. Kenapa banyak yang gak tahu?

Pada prinsipnya, buku adalah karya seni. Pada kenyataannya, buku adalah produk yang dicetak massal ribuan kopi yang mutunya harus cukup bagus unutk mendatangkan profit.

Fact: BANYAK penulis yang bukunya, saking gak kebeli sama orang, ditarik ke penerbit dan akhirnya dikiloin ke pabrik kertas. Lu pada gak tau aja. Sadis kan bos?

Fact: Setiap produk selalu dites sebelum dipasarkan. Mobil, motor, semuanya ditabrakin ke tembok dulu sebelum dijual.

Mending bikin crash test dummies, sebelum kita terlihat seperti penulis dummy.


Nah feedback system juga memberikan efek yang sama. Tentang bagaimana caranya kita bisa baca di posting gua sebelumnya.

4. Bawel amat sih? Lu bisa gak bikin buku kek gua?
Jangan pernah sekali-sekali talk back kalimat itu kepada orang yang ngritik kita.
Itu hanya menjadi bukti bahwa kita gak bisa berjiwa besar.

Gua akui memang terkadang ada orang yang sinikal dan najis bener dalam mengritik. Tapi tetep aja. Itu hak mereka. Kita boleh gak setuju dengan apa yang mereka ucapkan tapi kita harus menghormati kebebasan ucapan mereka.

Terkadang orang sangat mudah beropini tentang karya orang. Padahal mereka gak tahu apa yang terjadi di belakang layar. Tanpa tahu perjuangan yang dihabiskan seorang penulis/sutradara dalam membuat karyanya. Mereka dengan mudahnya datang, duduk, membaca/menonton karya kita sebentar dan berkomentar panjang lebar dan pedas.

Yang ada dalam pikiran pembuat karya biasanya langsung defensif dan memang itu yang mereka bilang 'ah, dia gak tau aja ceritanya.'

But you know what? they dont have to. Mereka penikmat. dan kita bikin buku tujuannya kan untuk dinikmati orang. Kalo kita gak kuat dikritik, kalo gua bilang dont bother jadi penulis. Kritik yang kita dapatkan dari pembaca kita masih mending ketimbang komunitas chef di Eropa. Yang karirnya bisa bener-bener habis karena dikritik oleh food critique. Food critique to malah bisa jadi profesi di sana. Jadi industri kuliner internasional sudah membuat sistem di mana karir food critique directly impacts karir dari chef. Chefnya bisa dipecat, diblack list, di de el el ketika menerima review buruk.

So you see, sepahit-pahitnya orang ngasih kritik, adalah hak mereka untuk ngasih.

Gua mau cerita tentang temen gua, salah satu sutradara terbaik Indonesia. Dia adalah jurnalis yang mengritik karya sutradar senior. Si senior bilang 'Belagu amat si loh. Mana buktiin sama karya lu? Ternyata karya sutradara muda ini lebih keren.

Yuuuukk.

5. Tingkat penerimaan orang itu beda-beda
Ibadah terbak dari menulis buku adalah menginspirasi orang dalam segala aspek.

Dari banyak review Travelers Tale yang ada, rata-rata pembaca yang belum cukup sering travel bilang buku ini inspiring dan membangkitkan semangat travel mereka. Tapi di sebuah forum backpacker, buku ini mereka rasa sangat biasa. Itu jelas dan kita jangan marah karena bisa jadi mereka lebih sering travel dari kita. Bahkan mungkin perjalanan-perjalanan yang kita rekam dalam buku itu hanya kelas teri dari pengalaman mereka. Perbedaan tingkat penerimaan ini biasa terjadi dan kita harus terima itu.

Sama aja dengan kita nulis novel fiksi tentang pekerja tambang. Orang non tambang gak masalah, orang pekerja tambang yang baca mungkin bisa bilang 'ini gak realistik', kalo risetnya gak bagus.

6. Don't take it personally
Ini yang paling penting. Jangan terlalu di ambil hati.
- Dengarkan dengan bijak
- Timbang dengan imbang. Jika memang valid terima. Jika tidka, maka itu perbedaan selera aja.
Waktu jomblo ditolak 2 kali oleh editor yang sama gua sakit hati bener sama editor itu. Tapi gua dengerin banget input dia. Salahnya gua, gua masih jutek sma dia. Makanya ketika Jomblo diterima masyarakat dengan baik, gua masih jutek. Setelah beberapa lama, gua baru nyadar bahwa Jomblo gak akan diterima masyarakat sebaik itu jika gak ada input dari dia. Sekaran gua ilang kontak dengan dia dan kalo ketemu, sumpeh lo pengen gua jabat tangan dia dan bilang terima kasih.

Gua juga punya pengalaman yang gak enak MENG-kritik orang. Gua itu kalo ngritik, sama sih, terkadang sangat dingin dan kadang bisa najis juga.

Gak usah orang lain, istri gua aja gua bikin nangis.

Suatu hari katakanlah X, datang ke gua membawa draftnya dan minta kritik gua. ya udah, gua kritik dong ya gak?

Kritik yang gua berikan ternyata diterima sebagai kategori 'bantai'. Padahal gua ngritiknya keras dan bagus dan detil. Kalo orang ngeritik itu kebanyakan 1 kalimat 2 kalimat. gua panjang bener pake bullet points.
- Kamu buruk di sini situ
- Kamu bisa perbaiki dengan cara itu ini.

Dia sempet bilang 'saya ini udah pengalaman lho, sering nulis utk surat kabar daerah'

gua 'Gak penting. Itu skala daerah. Kalo buku dicetak, itu skala nasional. Kolam tantangannya berlipat. Mutu yang ditampilkan harus berlipat.'

Selesai di situ. Abis itu dia gak dateng lagi ke gua dan tetap menerbitkan bukunya. Good for her. Apakah nasihat gua dia terima? I don't know and I don't care. Yang penting dia udah minta kritik gua kasih kritik DAN pointers.

Masalahnya dia itu ambil hati banget. Sampe dia nulis emai ke gua ketka bukunya jadi tebit mengesankan to prove that I am wrong. Gak sampe situ aja, suatu hari dia diwawancara surat kabar dan bilang bahwa GUE sempat ngebuat dia terpukul dan gak berani buka laptop 3 hari.

Nih ya,
1. Gua gak minta dia kirim draft ke gua
2. Dia minta kritik gua kasih
3. Dia gak minta pointers gua kasih
4. Gua udah luangin waktu gua untuk dia

What do I get? Gua malah dirub on face seperti itu.

Makanya dari saat itu gua menetapkan beberapa hal:
1. gua gak mau ngasih kritik meski diminta
2. gua gak mau ngasih back cover comment

Banyak orang yang kekurangannya tersirat dalam tabir dan menyalahkan orang-orang yang membantu dengan membuka tabir itu. Jangan pernah seperti itu.

7. Kritik bermuatan jealousy
Tadinya gua gak sadar bahwa ada hal seperti ini. Soalnya dari awal gua nerbitin dengan penuh kesadaran bahwa gua bukan penulis tebaik di dunia. Jadi gua gak ge-er2 amat untuk mematok bahwa kalo ada orang ngeritik, itu karena mereka sirik.

Tapi ada satu sample yang jelas sekali datang ke jalan gua suatu hari. Waktu jomblo baru 6 bulan terbit, penerbit gua langsung mencari novel-novel sejenis dan memasarkannya. Penerbit lain langsung mengritik bahwa penerbit gua adalah penerbit komersil yang terbitannya termasuk jomblo, gak layak disebut karya sastra.

Lucunya, penerbit yang nolak gua ketika gua bilang 'mbak, konsep saya adalah buku sebagai mediu mhiburan, bukan saja sebagai medium karya sastra', segera memburu draft-raft bernada hiburan dan mereka lah yang membanjiri toko buku dengan oversupply buku.

Kebanyakan kritik yang bermuatan jealousy adalah kritik yang keluar dari orang yang berpikir 'Shit, why didn't I think of that?'

Well there you have it. How to manage kritik.

Disclaimer Revision

Bagi kalian yang sudah membaca tips ini sebelum tanggal 25 Mei 2007, kalian akan mendapati bahwa gua merevisi tips ini. Gua menemukan bahwa sebagian kecil dari orang yang merespon dalam comment jauh di bawah memberikan sentimen negatif. Masalahnya bagi gua adalah, tips ini adalah salah satu bentuk kontribusi gua ke masyarakat. Kenyataan bahwa ada yang merespon secara negatif membuat gua berpikir, takutnya maksud baik gua memberi kontribusi gak kesampean karena udah terbukti sebagian kecil ini hilang fokusnya.

Kebanyakan sih hanya mengubah tone gua yang dirasa imperatif atau kasar bagi sebagian kecil itu padahal sebenernya gua berprinsip gua berhak nulis dengan tone yang gua mau. However, commmunication is about what is received. So gua ubah.
Jadi silahkan temukan di bawah, revised version dari tips gua.
Rgds.

Tips Menulis Buku Fiksi Pertama Lu

Dari Gua

Dari pertama gua nulis, udah lumayan banyak orang yang dateng ke gua minta diajarin bagaimana cara nulis buku. Kebanyakan jawaban gua udah ada sebenernya dalam pelajaran bahasa indonesia kelas 1-2-3 SMP dan 1-2-3 SMA.

Dari mulai hal-hal yang seperti: bikin tema, bikin sinopsis, membagi paragraf yang baik, semuanya adalah bekal teknis yang cukup untuk menulis buku. Tulisan di bawah adalah ringkasan gua secara menyeluruh tentang pertanyaan-pertanyaan dari banyak orang yang gua gak bisa jawab satu-satu. Bahasan akan gua bagi jadi 3 bagian penting.

Pre-production, production dan post-production.

Ini adalah tiga fase penulisan buku yang dalam masing-masing fase, ada hal-hal yang bisa membantu lu membuat buku yang baik….setidaknya baik versi pengalaman gua. Ini mungkin bukan tips yang terbaik yang lu denger tapi yang terbaik yang gua tahu. Penulis-penulis lain yang punya pengalaman beda mungkin akan gak setuju dengan isi blog ini, tapi again, ini adalah yang gua alami.

Di sini gua juga pengen memanage expectation orang karena normally orang yang mau menulis buku itu menggebu-gebu dan ditakutkan tidak memperhatikan beberapa elemen penting. Apalagi di jaman sekarang di mana buku fiksi itu sudah overrated kalo gua bilang.

______________________________________________________________

I. Pre-Production

I.1 Ide Cerita

Ada 2 alasan besar kenapa orang beli buku lu:

  1. Ide cerita lu

  2. Cara lu menuturkan cerita.

Di section ini kita akan bahas ide cerita dulu.

Fiksi: Beberapa macam ide cerita fiksi yang bagus adalah

  1. Yang beda dari yang lain. Ide cerita yang unik lumayan bikin orang penasaran.
  2. Sesuatu yang mendasar dan terjadi di setiap orang.
  3. Atau gak perlu beda dari yang lain tapi lu ambilnya dari sudut pandang lain.

Elu dituntut untuk melatih diri menjadi kreatif. Jangan berhenti bertanya ’kenapa?’ dan ’bagaima jika...?’

Yang harus dihindari dari persepsi gua adalah:

  1. Topik yang udah banyak orang bahas.
  2. Membuat karya fiksi dari pengalaman sendiri.

Again, dari persepsi gua, gua gak terlalu suka membaca karya fiksi yang sebenernya adalah hasil dari pengalaman pribadi. Gua gak suka, karena gua dulu ditempa menjadi penulis dengan ajaran: karya fiksi itu lahir dari proses kreatif. Nah kalo pengalaman kita sendiri kita fiksikan, proses kreatifnya minim.

Orang-orang yang nulis pengalaman pribadi, biasanya jarang memiliki kemampuan untuk menulis novel kedua (Ini bukan teori, ini pengamatan dari pengalaman seseorang). Semua isi perutnya udah abis disebar-sebar di buku pertama. Kalau pun iya, biasanya buku kedua terjual lebih edikit dari buku pertamanya.

Penulis yang konsisten memberikan ide fiksi tidak akan memiliki masalah memulai buku keduanya karena mentalnya penulis.

Nah gua gak bilang bahwa lu gak boleh memasukkan pengalaman pribadi lu ke dalam fiksi lu. Terserah elu itu mah. Toh ada beberapa buku yang seperti ini yang juga gemilang. Andrea Hirata men-tetralogikan pengalaman hidupnya dalam karya :

Laskar Pelangi
Sang pemimpi
Edensor
yang terakhir belum dia reveal apa judulnya

Ini diakui secara publik lho. And you know what? Bukunya bagus! Gaya ceritanya bagus. Ide ceritanya (pengalaman hidupnya) bagus. Ternyata gua lihat bahwa bedanya dia dengan yang lain adalah bahwa ide ceritanya inspiratif. Kata seseorang yang komentar di comment post ini, Salman Rushdie juga sering make pengalaman pribadinya dan bagus. Good for him then.

Jadi terserah kita. Kalo Kita mikir pengalaman pribadi kita bisa memberi hikmah / menghibur / menginspirasi orang banyak dalam bentuk fiksi, silahkan tulis. Kalo nggak, mending jangan saran gua.

Non-fiksi: Jika ingin menceritakan pengalaman pribadi, mending sekalian aja menulis buku non-fiksi. Raditya Dika dengan buku-bukunya adalah contoh yang sempurna akan hal ini. Dari awal dia memang sudah niat nulis pengalaman pribadinya dan dia go public mencetak bukunya dengan label ’Ini pengalaman pribadi’. Cara dia bercerita dan materi yang dia ceritakan sangat
kocak.

Tips memilih topik untuk non fiksi adalah:

1. Pengalaman lu yang unik yang gak dialamin banyak orang

2. Hindari kecenderungan memamerkan sesuatu yang orang banyak gak punya karena nanti lu akan kehilangan sense of belongingnya pembaca.

3. Persepsi lu akan sesuatu. Isman Suryaman dengan ’Bertanya Atau mati’ adalah contoh yang baik dalam penulisan on-fiksi yang tidak menceritakan pengalaman pribadi tapi lebih ke persepsi dia akan segala seuatu.

I.2. Target Audience

Penulis yang baik juga harus cukup peka untuk bisa mereka segmen usia dan segmen uang mana yang akan membaca bukunya. Gak usah pake bahasa yang rumit jika kita menarget pembaca di desa. Buku-buku Umar kayam dapat dinikmati oleh tukang pisang goreng sampe manager karena penuturannya baik dan pas bagi semua orang. Ide cerita yang terlalu high class akan ditinggalkan orang-orang susah. Intinya, ide dan cara bertutur yang pas akan mampu merangkul lebih banyak pembaca dari segala segmen.

I.3. Judul

Secara general, ada baiknya lu bukin sinopsis. Sinopsis ini akan kerasa gunanya di kala kita udah mulai nulis nanti. Judul dan tema juga penting agar kita tidak melebar dalam bercerita. Biasanya gini: Sinopsis adalah cerita lu dalam 3 paragraf

Tema adalah cerita lu dalam 1 kalimat

Judul adalah cerita lu dalam 1, 2 atau 3 kata

Kalo gua, jujur aja gua udah bikin 3 buku dan sampe sekarang masih gak becus aja nyari judul. Nyari tema sih oke. Ngembangin tema ke cerita oke. Tapi nyusutin dari tema ke judul? I am total crap at it.

____________________________________________________________

II. Production

Dalam production, ada 2 hal yang penting. Penulisan dan kritik.

II.1. Penulisan

II.1.1. Penokohan (matrix)
Salah satu yang sering penulis baru lakukan adalah penokohan yang tidak proporsional. Ini berhubungan dengan keterbasan buku sebagai media 1 dimensi. Buku hanya mampu bercerita dengan tulisan dan tidak dengan visual sehingga ketika orang membaca sebuah nama, dia akan berasumsi bahwa tokoh yang diberi nama ini, adalah tokoh penting dalam buku. Sering didapati bahwa penulis bercerita panjang lebar tentang tokoh ’Irwan’ di bab 2, tapi Irwan tidak muncul lagi di bab-bab berikutnya. Intinya jika kita menulis terlalu banyak nama/tokoh, pembaca akan bingung. Untuk itu sebelum menulis, minimal kita harus membuat sebuah matrix penokohan. Tokoh-tokoh utama harus jelas asal-usulnya dan kondisi fisik dan mental mereka. Untuk itu matrix penokohan di bawah akan sangat membantu. Semakin penting peran si tokoh, semakin detil kita harus gambarkan. Semakin gak penting peran dia, kita gak perlu detil-detil amat menggambarkan mereka.










































Nama

Peran

Background

Kondisi psikologis

Kondisi fisik

Rani

Utama

Lulus dari perbanas bareng tokoh2 lain

Ambisius, terbayang2 olehj kekejaman sang ayah, dll

Rambut merah sebahu, tinggi, kurus, sawo matang, dll

Julius

Utama

Lulus perbanas 1 tahun lebih cepat dari rani

Punya 2 kepribadian tapi dia gak sadar akan hal itu, baik,
dll

Cepak, punya luka di tangan kiri, tatao di tangan kanan

Rahmat

pendukung

Temen rani di perbanas, kerja di toko

kocak

Keriting.

XXX





YYY





Biasanya penulis sudah cukup kuat untuk menyimpan semua informasi ini dalam otak. Tapi gua sih nggak. Akhirnya gua melakukan deskripsi fisik yang berbeda akan tokoh yang sama dalam buku GMC. Memalukan. Sejak itu gua pake matrix ini. Matrix ini sangat berguna jika lu nekat ingin nulis buku dengan tokoh utama dna pendukung yang banyak. Contohnya buku ’Arus Balik’ Pramoedya Ananta Toer. Itu buku tokohnya banyak banget tapi detil mereka terjaga dengan baik.

II.1.2. Struktur Cerita

Metode

Umumnya drama 3 babak sudah cukup untuk mengakomodir penyaluran cerita. Kalo mau kreatif sedikit mungkin kita utak-atik depan belakang dan tengahnya. Buku ’100 years of solitude’ dari Gabriel Garcia Marquez adalah contoh yang unik untuk ini. Buku tersebut dia awali dengan endingnya. Buku itu dia awali dengan menceritakan bahwa pemeran utamanya akan ditembak mati oleh pasukan penembak. Dari sana dia flash back ke 100 tahun ke belakang kehidupan keluarganya.

Drama 3 babak berkomposisikan:

Babak 1: perkenalan masalah

Babak 2: masalahnya

Babak 3: penyelesaian

Setelah gua banyak baca, setidaknya gua pribadi mendapati bahwa buku yang tamat gua baca adalah buku-buku yang babak 1-nya singkat dan mampu memperkenalkan masalah dalam bukunya dalam jumlah halaman yang gak terlalu banyak. Tapi ini juga bukan pedoman. Ambil da Vinci Code-nya Dan Brown. Gua mendapati bahwa di akhir setiap bab selalu ada pertanyaan-pertanyaan yang membuat kita meneruskan membaca ke depannya. Itu bagus. Misterinya berlapis-lapis tapi masing-masing misteri itu gak bertele-tele. 600 halaman tu gak kerasa. Ada novel yang masalahnya hanya muter-muter di situ tapi dikemas dalam 700 halaman seperti the Historian. Itu buku gua tinggal di halaman 600 karena gua gak kuat. Buku itu membutuhkan 250 halaman untuk bilang bahwa tubuhnya drakula mencari kepalanya, yang mana udah bisa gua tebak dari 50 halaman pertama dari 250 halaman itu.

Ada lagi yang strukturnya dibuat persis seperti kita nonton film. Dan Brown adalah penulis yang bertipe seperti ini. Baik dalam Da Vinci Code atau Angels & Demons, tiap babnya gak terlalu banyak. Tapi jika kita ukur dan bayangkan, satu bab dalam bukunya gak susah kita bayangkan sebagai 1 adegan. Dan dari 1 bab ke bab lainnya menceritakn semua tokoh secara terpisah dan lama-lama terasa koneksinya dan makin konvergen.

II.1.3. Konvergensi cerita

Kalo gua pribadi, gua gak akan mulai menulis sebuah buku fiksi sebelum gua tahu endingnya seperti apa. Ninit Yunita, penulis testpack punya metode yang lebih efektif di mana dia mulai menulis setelah minimal 70% yakin akan endingnya. Minimal jika ending berubah, perubahan itu gak jauh-jauh amat.

Penulis pemula umumnya memiliki nafsu menulis tinggi sekali. Mereka mulai menulis sebelum tahu endingnya gimana, akhirnya tulisan mereka cenderung melebar (divergen). Semuanya ingin diceritakan. Pertama nulis tentang A, kemudian tentang B, kemudian tentang C tapi di tengah jadi bingung mikirin bagaimana caranya mengikat A, B dan C itu. Akhirnya buku itu dia tinggal. Dia ganti judul baru tapi dengan pola kerja yang salah, di judul baru ini dia mengalami kesulitan yang sama. Makanya, menulis konvergen itu akan menghemat waktu. Bikin sinopsis sebelum menulis.

II.1.4. Gaya/Cara bertutur

Seperti yang gua bilang ada 2 hal yang pada akhirnya membuat buku lu dibaca: ide cerita dan gaya nulis lu.

Sementara semua orang punya kemampuan untuk membuahkan ide yang kreatif, gak semua orang punya kemampuan bercerita dengan unik. Kalo kita udah nemu sebuah gaya bercerita, biasanya itu akan menjadi trade mark lu dan lu bawa di semua buku lu. Gua seperti ini. Ada lagi penulis yang di tiap bukunya gaya nulisnya beda. That's fine juga.

Gaya menulis yang unik pun gak bisa gua ajarin di sini. Itu adalah sebuah skill yang hanya lu sendiri bisa latih dan bisa tumbuhkan. Kalo dari pengalaman gua, sebelum gua nulis buku, gua habiskan satu tahun untuk menulis di blog. Cari-cari gaya bahasa yang lucu dan bisa bikin orang terhibur. Satu tahun. Itu proses yang lama. Gua gak bikin jomblo dalam 1 malam. Nasihat gua sih,
  1. jangan terlalu ingin instan langsung bikin buku. Latihan dulu di blog atau di mana pun, akan bisa.
  2. rajin-rajin baca buku fiksi / non-fiksi. Perhatikan bagaimana cara penulis-penulis lain bercerita. Bagiamana mereka mendeliver cerita mereka, bagaimana mereka mengerem dan menggas cerita untuk mendapatkan suspense pembaca. Bahasa formal/non-formal yang bagaimana yang mereka bungkuskan pada cerita mereka. Semua itu penting untuk disimak.

Untuk nulis lu butuh 2 hal. Talent dan practice untuk mengasah talent itu menjadi lebih baik.

II.2. Kritik

II.2.1. Ego Penulis

Gua adalah seorang kritikus buku yang dingin. Kalo jelek ya gua bilang jelek dengan catatan gua kasih mereka input. Hasilnya lumayan. Sejauh ini 4 dari sekian jumlah buku yang gua kritik, dapet kontrak film. 3 di antaranya terjual banyak juga.

Tapi yang sering gua dapati adalah bahwa penulis-penulis pemula yang datang ke gua, egonya besar sekali sampai mereka gak terima masukan gua. Dan orang-orang ini pun ketika akhirnya menerbitkan buku mereka, gak terjual seberapa banyak ketimbang mereka yang mampu nerima input. Gua ceritain ini bukan karena nasihat gua adalah jimat tapi karena they wouldn't listen.

Setelah dialog dengan seorang editor terkemuka, kita berdua mendapati bahwa jaman sekarang ini banyak yang penulis pemula yang merasa karya pertamanya adalah maha karya tanpa cacat dan secara mengejutkan sulit sekali nasihatin mereka. Sulit sekali bagi mereka untuk menelan komentar

”karya kamu itu jelek.”

Gua ditolak 3 kali oleh 2 penerbit sebelum Jomblo diterbitkan gagas. Dan gua bersyukur mereka menolak karena di saat penolakan itu mereka memberi input terhadap kelemahan yang selama ini gua gak sadari ada.

Coba kalahkan ego lu. Penulis itu sering mengalami apa yang dalam dunia statistik ’figure blind’. Setelah menghabiskan ratusan jam penulis menjadi subjektif dengan karyanya dan cenderung tidak mampu melihat kekurangan dalam karyanya. Makanya penting bagi lu untuk meminta orang lain untuk membaca dan memberikan lu kritik. Lebih baik dibantai selagi masih bentuk draft, offline ketimbang dibantai setelah jadi buku di media. Kalo draft udah jadi buku, that’s it. Malu banget untuk dirubah.

II.2.2. Feedback System

Sebaiknya lu punya feedback system sendiri. Maksudnya adalah sebuah mekanisme yang lu buat gimana caranya sehingga lu bisa menguji sejauh mana draft lu diterima di masyarakat. Untuk sharing aja, kalo gua:

  1. Setelah selesai draft 1 gua cari 6-10 orang yang gua gak terlalu kenal dan gua minta mereka baca dan minta input mereka.
  2. Input mereka ini akan menjadi bahan untuk gua kaji apakah gua ada ide dan gaya penulisan yang gua harus rubah. Perubahan ini menjadi draft 2.
  3. Setelah selesai draft 2, gua lakukan lagi ke 6-10 orang yang berbeda. Ambil input dari mereka lagi. Dan lakukan hal yang sama dengan #2.

Gua melakukan ini secara konsisten dan serius karena gua percaya reaksi orang-orang yang gak gua kenal itu adalah cermin dari reaksi pasar jika buku itu terbit.Kritis terhadap diri sendiri juga penting. Sering-sering baca draftnya lagi dari awal dengan asumsi kita orang luar. Itu akan membantu objektifitas. In time setelah lu menulis 3-4 buku dengan cara ini lu akan sadar sendiri dan meng-kaji tulisan sendiri dengan lebih objektif.

______________________________________________________

III. Post-Production

Kalo lu pikir bahwa tugas lu nulis buku udah selesai di sini, salah. Justru 30% waktu total pembuatan buku jatuh di post-productionnya. Berikut adalah aspek-aspek yang lu harus kenali dalam post-production.

III.1. Supporting Elements

III.1.1. Cover

Pada kenyataannya, people do judge books by the covers. Di era di mana banyak buku yang bersaing untuk djual, peran cover mau gak mau jadi penting. Berikut adalah jenis-jenis cover yang gua klasifikasikan berdasarkan pengalaman gua.

  1. Simbolik. Contoh yang sangat bagus untuk jenis ini adalah 5 CM-nya Donny Dirgantara. Hanya ada tulisan 5 CM dengan all black dan ada emboss tulisan-tulisan lain. Hitamnya ini cowok banget dan bikin penasaran. Bagi gua covernya bagus banget. Tapi bagi gua, isinya not my cup of tea. Contoh lain yang simbolik adalah Soulate-nya Jessica Huwae. Simple, putih dan hanya ada mouse sebagai vocal point dari gambar. Very nice.
  2. Explicit. Gua dan Ninit sejauh ini cenderung explisit kalo milih cover. Ada gambar orang-orang karena kita pengen covernya ngerelate ke ceritanya. Bagi gua dari semua cover kita, yang paling bagus adalah cover testpack.
  3. Permen. Warnanya extreme pink, extreme red. Cover-cover seperti ini lumayan menonjol disbanding buku-buku lain ketika mereka dipajang berbarengan.

III.1.2. Back Cover Comments

Back Cover comments (BCC) bukan faktor utama dalam orang memilih buku. Dan meski gua sendiri sampai sekarang masih pake, gua berencana agar buku gua berikutnya sudah gak make lagi. Kelemahan memakai BCC adalah: Orang yang lu minta BCC belum tentu ada waktu untuk baca buku lu karena dia sibuk. Lu juga gak bisa ngapa-ngapain karena posisi lu adalah minta ke dia. Lu juga gak mungkin marah-marah ke dia.

III.1.3. Synopsis

Jaman gua nulis buku, nerbitin buku tuh sedemikian susahnya sehingga ketika pada akhirnya Jomblo diterbitkan, gua mudah sekali bersaing dengan penulis-penulis lain. Tapi jaman sekarang udah beda. Pasar buku itu udah oversupplied. Dulu ketika orang punya uang 20000 dan pergi ke gramedia, dia gak punya banyak pilihan.

Jaman sekarang ketika dia pergi ke gramedia untuk beli buku fiksi, dia bingung. Ada berbagai judul untuk semua genre dan segmen umur. Di sini lah pentingnya sinopsis 1 paragraf di cover belakang. Sinopsis itu tidak akan membantu buku lu terjual. Sinopsis itu akan membantu orang memutuskan apakah dia akan membeli buku lu atau tidak.

III.2. Publishing

III.2.1. Penerbit yang benar

Industri buku dan outputnya yaitu dunia sastra, mengalami perubahan besar-besaran dari tahun 2004. Jaman dulu, masukin buku itu susahnya selangit. Gua masih mending ditolak 3 kali oleh 2 penerbit. Hilman Hariwijaya yang terpaut 10 tahun lebih tua dari gua, ditolak gak kurang dari 7 kali.

Intinya gini: sampai dengan tahun 2003, penerbit itu masih melihat buku sebagai medium penyaluran karya sastra. Mereka tidak melihat bahwa buku bisa juga sebagai medium hiburan seperti Jomblo dan Lupus. Setelah tahun 2003 baru lah mereka sepertinya sadar bahwa buku juga medium hiburan. Lantas semua penerbit beramai-ramai mencari naskah yang menghibur. Keluar label metropop, teenlit, de el el.

Sebenernya ini sah-sah aja, tapi imbasnya kebanyakan penerbit menurunkan standar kualitas teknik menulis dan penceritaan. Padahal seharusnya mereka tidak melakukan ini. Dari pendapat gua, seharusnya yang terjadi dalam industri buku fiksi adalah:
  1. tetap menset standar yang tinggi untuk teknik penulisan
  2. membuka mata lebih lebar untuk genre-genre hiburan.

Gara-gara ini tidak dilakukan, sekarang banyak sekali buku yang beredar. Dan dari semua yang gua pelajari, gua bisa bilang banyak juga dari buku yang beredar itu sub-standard dalam aspek yang berbeda-beda. Nah di sini gua delete beberapa contoh yang gua temukan karena gua mendapati ada orang-orang yang merasa, kelemahan-kelemahan yang gua spot itu bukan kelemahan. Ya sudah silahkan percaya sama masing-masing.

Yang jelas, penerbit tidak ingin kehilangan kesempatan memiliki lupus kedua sehingga mereka tidak memperhatikan kualitas-kualitas yang selama ini mereka junjung. Padahal kalo kita liat lupus dulu, meski pun konyol, dia tetap memakai teknik menulis yang descent. Dulu penulis harus sabar editor baca naskah 3 bulan. Sekarang, kasus paling parah yang gua pernah tahu adalah masukin siang, sorenya di-approve.

Makanya, berikut adalah hal-hal yang harus dicermati dari penerbit:

  1. Jika approvalnya sangat cepat (1 hari), maka lu harus hati-hati. Logisnya, penerbit menerima puluhan jika tidak belasan naskah tiap hari. Kecil kemungkinan naskah lu bisa dibaca dalam 1 hari. Kalo responnya secepat ini, takutnya mereka gak care akan karya lu, mereka cuman gak pengen kehilangan kesempatan aja.
  2. Dan lu harus selalu cari penerbit yang care pada penulisnya. Jangan masukin karya fiksi lu ke penerbit buku pertanian. Gak cocok. Lihat baik-baik genre lu dan genre dari penerbit lu.
  3. Nisha Rahmanti yang pernah nulis Cintapuccino pernah bilang sesuatu yang valid : milih penerbit itu kayak milih pacar. Lu mesti cocok sama mereka. Ada beberapa penerbit yang sangat selektif dengan penulis-penulisnya sehingga penulis yang bernaung di bawah mereka tidak banyak. Tapi penulis-penulis yang mereka ambil sangat mereka sayang. Promonya didukung abis-abisan. Ada penerbit yang penulisnya sejuta umat. Tapi ketika lu telfon dan tanya bagaimana perkembangan mereka gak nanggep.

III. 2.2. Cara masukin buku ke penerbit

Gua sering mendapati penulis baru kirim draft ke gua minta kritik atau kirim draft ke penerbit tapi presentasinya gak representatif. Kita cuman dikasih amplop isinya draft dan dijepit. Daftar isi gak ada. Sinopsis gak ada. Keterangan penulis gak ada. Jaman sekarang, tiap penerbit itu menerima ratusan draft per bulan. Penerbit harus men-thin slice setiap draft untuk mulai membaca. Maksudnya thin slice, dalam waktu yang singkat dia harus menentukan mana yang harus dibaca duluan. Mereka butuh bantuan elu untuk memudahkan mereka membuat keputusan itu. Berikut adalah hal-hal yang sangat esensial kalo draft lu mau cepet dibaca:
  1. Draft dijilid rapih. Ini agar halamannya gak lepas-lepas.
  2. Kasih 1 halaman sinopsis menjelaskan isi cerita lu. Ini pentig banget agar dalam waktu singkat penerbit bisa memutuskan apakah draft lu lebih layak dibaca ketimbang ratusan draft lain di meja mereka.
  3. Kasih ½ halaman A4 yang tentang mengapa menurut lu buku lu layak dibaca dan
    diterbitkan.
  4. Di dalam draftnya, pake halaman. Ini aja banyak yang melakukannya.
  5. Di dalam draftnya, pake daftar isi. Ini akan membantu penerbit menerka flow dari
    cerita dalam buku lu.
  6. Kalo bisa dateng ke penerbitnya dan kasih langsung ke editor. Kalo ini sih gua aja.
    Gua lebih suka mereka ketemu gua in person, agar lebih meyakinkan. Kalo beda
    kota, kasih aja lewat pos atau lewat email, tapi 5 poin di atas harus ada.

III.3. Marketing

Gue menemukan banyak penulis yang ketika bukunya udah dicetak dia bilang
’Yang penting gua nulis buku’

Ini gua bilang sebagai mental seniman tapi gak bisa jualan. Trus, mereka bilang

‘Oh sori, buku gua karya seni, gak komersil kayak lo. (bikin darah tinggi gak sih?) Yang penting gua nyumbang sesuatu ke khazanah sastra Indonesia.’

Nulis buku kalo gak dibaca juga mereka gak akan dapet manfaatnya kali. Ngapain kita bikin karya seni tapi gak ada yang baca? Karya seni kita gak akan ada gunanya kalo gak ada yang baca. Jujur gua punya prinsip bahwa penulis yang baik itu adalah penulis yang bukunya dibaca banyak orang dan bukan untuk alasan komersil. Rantainya:

Buku kita punya nilai jual -> buku kita dibeli -> buku kita dibaca -> buku kita dikritik -> kita sebagai penulis, menerima kritik itu dan menjadi penulis yang lebih baik lagi.

Ada lagi penerbit yang bilang

‘ah penerbit X mah gencar promosi doang, isinya gak nyastra. Kita dong nerbitin karya sastra.’

Ini perkataan yang bener-bener pernah keluar dalam persaingan penerbit. Masalahnya, kalo kita nerbitin karya sastra, kita punya tanggung jawab lebih untuk masarin dengan lebih baik kan? Bukan kah karya sastra akan mencerdaskan kehidupan bangsa? Ini mereka gak lakukan.

Memang benar bahwa buku adalah karya seni tapi ketika karya seni itu dicetak 3000 kopi, karya seni itu berubah jadi prioduk massal yang mana kalo gak terjual, penulis akan rugi (baca rantai atas). Jadinya otak komersil kita juga mesti jalan. Otak yang komersil tidak melambangkan buku yang komersil juga kok. Otak yang komersil untuk karya tulis yang berseni akan menguntungkan semua pihak pembaca, penerbit dan diri kita sendiri untuk menjadi penulis yang lebih baik. Intinya: marketing itu penting dan mendukung kita menjadi penulis yang lebih baik.

III.3.1. Market your book

Bikin marketing plan untuk promo. Gak usah yang jelimet. Yang simple-simple aja tapi ngena. Biasanya setiap penerbit punya departemen promo dan ada baiknya lu cuti berapa hari dan diskusi dengan mereka mau promo seperti apa.

Berikut adalah hal-hal yang lu bisa lakukan untuk promo buku lu. Yang di bawah ini juga tanggung jawab departemen promo lu. Jadi jangan takut melakukan ini sendirian. Kalo penerbit lu bagus, departemen promonya biasanya ngerti ini:
  1. temu wicara / road show di kampus-kampus
  2. sediakan 50 kopi dan kirim ke media massa terkait untuk direview. Tapi ini gambling juga. Kalo buku lu jelek, lu dibantai.
  3. targetin beberapa radio dan lakukan talk show di sana. Sesuaikan segmen radionya
    dengan segmen buku lu. Kalo bikin chicklit gak perlu ke radio dangdut.
  4. Bikin blog.
  5. Gabung ke milis-milis, perkenalkan diri lu dan buku lu.
I know seklias baca di atas mungkin risih ya ih kok jualan. Dalam kasus gua, gua 3 tahun di marketing jadi gua sih ngerti kenapa sebuah barang itu mesti dipasarkan. Kalo kalian gak mau melakukan ini gak papa. It will not kill you if you don't do it.

_______________________________________________________

Ya udah. Gitu aja. Semoga berhasil dengan buku pertama lu. Semoga REVISI DARI posting ini membantu.

Rgds, Adhitya




XML