Kritik
Published by adhitya on Tuesday, January 22, 2008 at 2:45 AM.Memang terdengar sempurna sekali untuk bisa senang sama kritik. Tapi percayalah gua butuh waktu yang lama untuk belajar senang sama kritik. Gua mulai nyadar ketika gua menimbangnya dan sadar bahwa kritik itu ada benarnya.
Beberapa penulis yang gua kenal sangat defensif dengan karyanya. Gua kritik satu hal tentang alur, seribu alasan mengular menjelaskan ini itu. Terus dengan sopan gua bilang, kalo gitu, kenapa alasan ini itu yang lu baru bilang, gak lu masukin di buku?
Dia bilang, lha pembaca harusnya ngerti dong.
Dari mana kata harus? Kalo karya kita gak jelas alurnya, ya kita ditinggal pembaca. Benar bahwa penulis yang menghibur adalah penulis yang meninggalkan ruang untuk imajinasi pembaca. Tapi itu di sektor-sektor seperti interpretasi karya, interpretasi tokoh, deskripsi dan lainnya. Tapi alur? Alur ya harus jelas kalo nggak, ya gimana pembaca bisa ngerti jalan ceritanya?
Berikut adalah tips-tips gua untuk menghadapi kritik:
1. Dengarkan baik-baik dan berterima kasih pada orang itu
Suatu hari gua pernah gak mau mengakui kesalahan yang bos gua deteksi dalam kerja. Dia bilang gini:
Tuhan menciptakan 1 mulut karena cukup 1 mulut untuk membuat orang lain sakit hati.
Tuhan menciptakan 2 telinga karena bahkan 2 pun orang sering gak mau denger.
Kebanyakan kritik memang valid dalam mendeteksi ketidaksempurnaan karya kita. Anggap itu sebagai pelajaran lu bisa milih untuk belajar dari kritik itu atau mau PD aja dengan diri sendiri. Yang bijak adalah bersikap imbang dan bijak. Tetap percaya diri DAN mendengarkan mereka. Karena inat satu hal: Percaya diri boleh tapi diri ini pun tidak sempurna. Makanya kita juga harus percaya dengan orang lain juga karena siapa tahu kritik mereka berharga.
2. Kritik bisa juga datang dari perbedaan selera
Setelah menerima kritik, cerna baik-baik dan mulai pilah apa basis dari kritik itu. Kenapa pembaca X tidak suka? Di beberapa kasus, dia tidak suka hanya karena memang bukan selera kita. Makanya dari awal kita jangan defensif. Lha wong selera orang kan beda-beda dan gak mungkin kita bisa puasin semua. Dan gak mungkin 1 orang karya bisa memuaskan semua orang di dunia ini. Paolo Coelho cuman bisa memuaskan 11 juta pembaca. Dan Brown aja cuman bisa memuaskan 24 juta pembelinya. Gua baru baca 1 buku yang bisa memuaskan semua orang. Judulnya Al Quran.
Intinya: mau sampe jidat lu mekar, akan selalu ada pembaca yang kecewa. Sikapi ini dengan bijak juga. Jangan sampe terlena berlindung di kalimat 'ah itu kan selera mereka. selera gua beda'. Iya, kalo nulis gak untuk dibaca orang buat apa, ayam.
3. Gak Mau dikritik? Bikin feedback system SEBELUM karya itu jadi
Ini sudah gua singgung panjang lebar di posting sebelumnya. Secara mengejutkan banyak penulis yang tidak tahu bahwa melakukan ini sangat penting. Lebih parah lagi, banyak penulis yang nyadar akan pentingnya, tapi malas/takut melakukannya. Banyak juga yang buru-buru pengen cetak aja. Pada akhirnya buku yang diterbitkan kurang maksimal. Kenapa banyak yang gak tahu?
Pada prinsipnya, buku adalah karya seni. Pada kenyataannya, buku adalah produk yang dicetak massal ribuan kopi yang mutunya harus cukup bagus unutk mendatangkan profit.
Fact: BANYAK penulis yang bukunya, saking gak kebeli sama orang, ditarik ke penerbit dan akhirnya dikiloin ke pabrik kertas. Lu pada gak tau aja. Sadis kan bos?
Fact: Setiap produk selalu dites sebelum dipasarkan. Mobil, motor, semuanya ditabrakin ke tembok dulu sebelum dijual.
Mending bikin crash test dummies, sebelum kita terlihat seperti penulis dummy.
Nah feedback system juga memberikan efek yang sama. Tentang bagaimana caranya kita bisa baca di posting gua sebelumnya.
4. Bawel amat sih? Lu bisa gak bikin buku kek gua?
Jangan pernah sekali-sekali talk back kalimat itu kepada orang yang ngritik kita. Itu hanya menjadi bukti bahwa kita gak bisa berjiwa besar.
Gua akui memang terkadang ada orang yang sinikal dan najis bener dalam mengritik. Tapi tetep aja. Itu hak mereka. Kita boleh gak setuju dengan apa yang mereka ucapkan tapi kita harus menghormati kebebasan ucapan mereka.
Terkadang orang sangat mudah beropini tentang karya orang. Padahal mereka gak tahu apa yang terjadi di belakang layar. Tanpa tahu perjuangan yang dihabiskan seorang penulis/sutradara dalam membuat karyanya. Mereka dengan mudahnya datang, duduk, membaca/menonton karya kita sebentar dan berkomentar panjang lebar dan pedas.
Yang ada dalam pikiran pembuat karya biasanya langsung defensif dan memang itu yang mereka bilang 'ah, dia gak tau aja ceritanya.'
But you know what? they dont have to. Mereka penikmat. dan kita bikin buku tujuannya kan untuk dinikmati orang. Kalo kita gak kuat dikritik, kalo gua bilang dont bother jadi penulis. Kritik yang kita dapatkan dari pembaca kita masih mending ketimbang komunitas chef di Eropa. Yang karirnya bisa bener-bener habis karena dikritik oleh food critique. Food critique to malah bisa jadi profesi di sana. Jadi industri kuliner internasional sudah membuat sistem di mana karir food critique directly impacts karir dari chef. Chefnya bisa dipecat, diblack list, di de el el ketika menerima review buruk.
So you see, sepahit-pahitnya orang ngasih kritik, adalah hak mereka untuk ngasih.
Gua mau cerita tentang temen gua, salah satu sutradara terbaik Indonesia. Dia adalah jurnalis yang mengritik karya sutradar senior. Si senior bilang 'Belagu amat si loh. Mana buktiin sama karya lu? Ternyata karya sutradara muda ini lebih keren.
Yuuuukk.
5. Tingkat penerimaan orang itu beda-beda
Ibadah terbak dari menulis buku adalah menginspirasi orang dalam segala aspek.
Dari banyak review Travelers Tale yang ada, rata-rata pembaca yang belum cukup sering travel bilang buku ini inspiring dan membangkitkan semangat travel mereka. Tapi di sebuah forum backpacker, buku ini mereka rasa sangat biasa. Itu jelas dan kita jangan marah karena bisa jadi mereka lebih sering travel dari kita. Bahkan mungkin perjalanan-perjalanan yang kita rekam dalam buku itu hanya kelas teri dari pengalaman mereka. Perbedaan tingkat penerimaan ini biasa terjadi dan kita harus terima itu.
Sama aja dengan kita nulis novel fiksi tentang pekerja tambang. Orang non tambang gak masalah, orang pekerja tambang yang baca mungkin bisa bilang 'ini gak realistik', kalo risetnya gak bagus.
6. Don't take it personally
Ini yang paling penting. Jangan terlalu di ambil hati.
- Dengarkan dengan bijak
- Timbang dengan imbang. Jika memang valid terima. Jika tidka, maka itu perbedaan selera aja.
Waktu jomblo ditolak 2 kali oleh editor yang sama gua sakit hati bener sama editor itu. Tapi gua dengerin banget input dia. Salahnya gua, gua masih jutek sma dia. Makanya ketika Jomblo diterima masyarakat dengan baik, gua masih jutek. Setelah beberapa lama, gua baru nyadar bahwa Jomblo gak akan diterima masyarakat sebaik itu jika gak ada input dari dia. Sekaran gua ilang kontak dengan dia dan kalo ketemu, sumpeh lo pengen gua jabat tangan dia dan bilang terima kasih.
Gua juga punya pengalaman yang gak enak MENG-kritik orang. Gua itu kalo ngritik, sama sih, terkadang sangat dingin dan kadang bisa najis juga.
Gak usah orang lain, istri gua aja gua bikin nangis.
Suatu hari katakanlah X, datang ke gua membawa draftnya dan minta kritik gua. ya udah, gua kritik dong ya gak?
Kritik yang gua berikan ternyata diterima sebagai kategori 'bantai'. Padahal gua ngritiknya keras dan bagus dan detil. Kalo orang ngeritik itu kebanyakan 1 kalimat 2 kalimat. gua panjang bener pake bullet points.
- Kamu buruk di sini situ
- Kamu bisa perbaiki dengan cara itu ini.
Dia sempet bilang 'saya ini udah pengalaman lho, sering nulis utk surat kabar daerah'
gua 'Gak penting. Itu skala daerah. Kalo buku dicetak, itu skala nasional. Kolam tantangannya berlipat. Mutu yang ditampilkan harus berlipat.'
Selesai di situ. Abis itu dia gak dateng lagi ke gua dan tetap menerbitkan bukunya. Good for her. Apakah nasihat gua dia terima? I don't know and I don't care. Yang penting dia udah minta kritik gua kasih kritik DAN pointers.
Masalahnya dia itu ambil hati banget. Sampe dia nulis emai ke gua ketka bukunya jadi tebit mengesankan to prove that I am wrong. Gak sampe situ aja, suatu hari dia diwawancara surat kabar dan bilang bahwa GUE sempat ngebuat dia terpukul dan gak berani buka laptop 3 hari.
Nih ya,
1. Gua gak minta dia kirim draft ke gua
2. Dia minta kritik gua kasih
3. Dia gak minta pointers gua kasih
4. Gua udah luangin waktu gua untuk dia
What do I get? Gua malah dirub on face seperti itu.
Makanya dari saat itu gua menetapkan beberapa hal:
1. gua gak mau ngasih kritik meski diminta
2. gua gak mau ngasih back cover comment
Banyak orang yang kekurangannya tersirat dalam tabir dan menyalahkan orang-orang yang membantu dengan membuka tabir itu. Jangan pernah seperti itu.
7. Kritik bermuatan jealousy
Tadinya gua gak sadar bahwa ada hal seperti ini. Soalnya dari awal gua nerbitin dengan penuh kesadaran bahwa gua bukan penulis tebaik di dunia. Jadi gua gak ge-er2 amat untuk mematok bahwa kalo ada orang ngeritik, itu karena mereka sirik.
Tapi ada satu sample yang jelas sekali datang ke jalan gua suatu hari. Waktu jomblo baru 6 bulan terbit, penerbit gua langsung mencari novel-novel sejenis dan memasarkannya. Penerbit lain langsung mengritik bahwa penerbit gua adalah penerbit komersil yang terbitannya termasuk jomblo, gak layak disebut karya sastra.
Lucunya, penerbit yang nolak gua ketika gua bilang 'mbak, konsep saya adalah buku sebagai mediu mhiburan, bukan saja sebagai medium karya sastra', segera memburu draft-raft bernada hiburan dan mereka lah yang membanjiri toko buku dengan oversupply buku.
Kebanyakan kritik yang bermuatan jealousy adalah kritik yang keluar dari orang yang berpikir 'Shit, why didn't I think of that?'
Well there you have it. How to manage kritik.
Disclaimer Revision
Published by adhitya on Friday, May 25, 2007 at 3:11 AM.Kebanyakan sih hanya mengubah tone gua yang dirasa imperatif atau kasar bagi sebagian kecil itu padahal sebenernya gua berprinsip gua berhak nulis dengan tone yang gua mau. However, commmunication is about what is received. So gua ubah.
Jadi silahkan temukan di bawah, revised version dari tips gua.
Rgds.
Tips Menulis Buku Fiksi Pertama Lu
Published by adhitya on Wednesday, May 2, 2007 at 10:51 PM.Dari Gua
Pre-production, production dan post-production.
Ini adalah tiga fase penulisan buku yang dalam masing-masing fase, ada hal-hal yang bisa membantu lu membuat buku yang baik….setidaknya baik versi pengalaman gua. Ini mungkin bukan tips yang terbaik yang lu denger tapi yang terbaik yang gua tahu. Penulis-penulis lain yang punya pengalaman beda mungkin akan gak setuju dengan isi blog ini, tapi again, ini adalah yang gua alami.
Di sini gua juga pengen memanage expectation orang karena normally orang yang mau menulis buku itu menggebu-gebu dan ditakutkan tidak memperhatikan beberapa elemen penting. Apalagi di jaman sekarang di mana buku fiksi itu sudah overrated kalo gua bilang.
______________________________________________________________
I. Pre-Production
I.1 Ide Cerita
Ada 2 alasan besar kenapa orang beli buku lu:
- Ide cerita lu
- Cara lu menuturkan cerita.
Di section ini kita akan bahas ide cerita dulu.
Fiksi: Beberapa macam ide cerita fiksi yang bagus adalah
- Yang beda dari yang lain. Ide cerita yang unik lumayan bikin orang penasaran.
- Sesuatu yang mendasar dan terjadi di setiap orang.
- Atau gak perlu beda dari yang lain tapi lu ambilnya dari sudut pandang lain.
Elu dituntut untuk melatih diri menjadi kreatif. Jangan berhenti bertanya ’kenapa?’ dan ’bagaima jika...?’
Yang harus dihindari dari persepsi gua adalah:
- Topik yang udah banyak orang bahas.
- Membuat karya fiksi dari pengalaman sendiri.
Orang-orang yang nulis pengalaman pribadi, biasanya jarang memiliki kemampuan untuk menulis novel kedua (Ini bukan teori, ini pengamatan dari pengalaman seseorang). Semua isi perutnya udah abis disebar-sebar di buku pertama. Kalau pun iya, biasanya buku kedua terjual lebih edikit dari buku pertamanya.
Penulis yang konsisten memberikan ide fiksi tidak akan memiliki masalah memulai buku keduanya karena mentalnya penulis.
Nah gua gak bilang bahwa lu gak boleh memasukkan pengalaman pribadi lu ke dalam fiksi lu. Terserah elu itu mah. Toh ada beberapa buku yang seperti ini yang juga gemilang. Andrea Hirata men-tetralogikan pengalaman hidupnya dalam karya :
Laskar Pelangi
Sang pemimpi
Edensor
yang terakhir belum dia reveal apa judulnya
Ini diakui secara publik lho. And you know what? Bukunya bagus! Gaya ceritanya bagus. Ide ceritanya (pengalaman hidupnya) bagus. Ternyata gua lihat bahwa bedanya dia dengan yang lain adalah bahwa ide ceritanya inspiratif. Kata seseorang yang komentar di comment post ini, Salman Rushdie juga sering make pengalaman pribadinya dan bagus. Good for him then.
Jadi terserah kita. Kalo Kita mikir pengalaman pribadi kita bisa memberi hikmah / menghibur / menginspirasi orang banyak dalam bentuk fiksi, silahkan tulis. Kalo nggak, mending jangan saran gua.
kocak.
Tips memilih topik untuk non fiksi adalah:
1. Pengalaman lu yang unik yang gak dialamin banyak orang
2. Hindari kecenderungan memamerkan sesuatu yang orang banyak gak punya karena nanti lu akan kehilangan sense of belongingnya pembaca.
3. Persepsi lu akan sesuatu. Isman Suryaman dengan ’Bertanya Atau mati’ adalah contoh yang baik dalam penulisan on-fiksi yang tidak menceritakan pengalaman pribadi tapi lebih ke persepsi dia akan segala seuatu.
I.2. Target Audience
I.3. Judul
Tema adalah cerita lu dalam 1 kalimat
Judul adalah cerita lu dalam 1, 2 atau 3 kata
Kalo gua, jujur aja gua udah bikin 3 buku dan sampe sekarang masih gak becus aja nyari judul. Nyari tema sih oke. Ngembangin tema ke cerita oke. Tapi nyusutin dari tema ke judul? I am total crap at it.
II. Production
Dalam production, ada 2 hal yang penting. Penulisan dan kritik.
II.1. Penulisan
II.1.1. Penokohan (matrix)
Nama | Peran | Background | Kondisi psikologis | Kondisi fisik |
Rani | Utama | Lulus dari perbanas bareng tokoh2 lain | Ambisius, terbayang2 olehj kekejaman sang ayah, dll | Rambut merah sebahu, tinggi, kurus, sawo matang, dll |
Julius | Utama | Lulus perbanas 1 tahun lebih cepat dari rani | Punya 2 kepribadian tapi dia gak sadar akan hal itu, baik, dll | Cepak, punya luka di tangan kiri, tatao di tangan kanan |
Rahmat | pendukung | Temen rani di perbanas, kerja di toko | kocak | Keriting. |
XXX | ||||
YYY |
II.1.2. Struktur Cerita
Metode
Drama 3 babak berkomposisikan:
Babak 1: perkenalan masalah
Babak 2: masalahnya
Babak 3: penyelesaian
Setelah gua banyak baca, setidaknya gua pribadi mendapati bahwa buku yang tamat gua baca adalah buku-buku yang babak 1-nya singkat dan mampu memperkenalkan masalah dalam bukunya dalam jumlah halaman yang gak terlalu banyak. Tapi ini juga bukan pedoman. Ambil da Vinci Code-nya Dan Brown. Gua mendapati bahwa di akhir setiap bab selalu ada pertanyaan-pertanyaan yang membuat kita meneruskan membaca ke depannya. Itu bagus. Misterinya berlapis-lapis tapi masing-masing misteri itu gak bertele-tele. 600 halaman tu gak kerasa. Ada novel yang masalahnya hanya muter-muter di situ tapi dikemas dalam 700 halaman seperti the Historian. Itu buku gua tinggal di halaman 600 karena gua gak kuat. Buku itu membutuhkan 250 halaman untuk bilang bahwa tubuhnya drakula mencari kepalanya, yang mana udah bisa gua tebak dari 50 halaman pertama dari 250 halaman itu.
II.1.3. Konvergensi cerita
Kalo gua pribadi, gua gak akan mulai menulis sebuah buku fiksi sebelum gua tahu endingnya seperti apa. Ninit Yunita, penulis testpack punya metode yang lebih efektif di mana dia mulai menulis setelah minimal 70% yakin akan endingnya. Minimal jika ending berubah, perubahan itu gak jauh-jauh amat.
II.1.4. Gaya/Cara bertutur
Seperti yang gua bilang ada 2 hal yang pada akhirnya membuat buku lu dibaca: ide cerita dan gaya nulis lu.
- jangan terlalu ingin instan langsung bikin buku. Latihan dulu di blog atau di mana pun, akan bisa.
- rajin-rajin baca buku fiksi / non-fiksi. Perhatikan bagaimana cara penulis-penulis lain bercerita. Bagiamana mereka mendeliver cerita mereka, bagaimana mereka mengerem dan menggas cerita untuk mendapatkan suspense pembaca. Bahasa formal/non-formal yang bagaimana yang mereka bungkuskan pada cerita mereka. Semua itu penting untuk disimak.
Untuk nulis lu butuh 2 hal. Talent dan practice untuk mengasah talent itu menjadi lebih baik.
II.2. Kritik
II.2.1. Ego Penulis
Tapi yang sering gua dapati adalah bahwa penulis-penulis pemula yang datang ke gua, egonya besar sekali sampai mereka gak terima masukan gua. Dan orang-orang ini pun ketika akhirnya menerbitkan buku mereka, gak terjual seberapa banyak ketimbang mereka yang mampu nerima input. Gua ceritain ini bukan karena nasihat gua adalah jimat tapi karena they wouldn't listen.
Setelah dialog dengan seorang editor terkemuka, kita berdua mendapati bahwa jaman sekarang ini banyak yang penulis pemula yang merasa karya pertamanya adalah maha karya tanpa cacat dan secara mengejutkan sulit sekali nasihatin mereka. Sulit sekali bagi mereka untuk menelan komentar
”karya kamu itu jelek.”
II.2.2. Feedback System
Sebaiknya lu punya feedback system sendiri. Maksudnya adalah sebuah mekanisme yang lu buat gimana caranya sehingga lu bisa menguji sejauh mana draft lu diterima di masyarakat. Untuk sharing aja, kalo gua:
- Setelah selesai draft 1 gua cari 6-10 orang yang gua gak terlalu kenal dan gua minta mereka baca dan minta input mereka.
- Input mereka ini akan menjadi bahan untuk gua kaji apakah gua ada ide dan gaya penulisan yang gua harus rubah. Perubahan ini menjadi draft 2.
- Setelah selesai draft 2, gua lakukan lagi ke 6-10 orang yang berbeda. Ambil input dari mereka lagi. Dan lakukan hal yang sama dengan #2.
III. Post-Production
Kalo lu pikir bahwa tugas lu nulis buku udah selesai di sini, salah. Justru 30% waktu total pembuatan buku jatuh di post-productionnya. Berikut adalah aspek-aspek yang lu harus kenali dalam post-production.
III.1. Supporting Elements
III.1.1. Cover
Pada kenyataannya, people do judge books by the covers. Di era di mana banyak buku yang bersaing untuk djual, peran cover mau gak mau jadi penting. Berikut adalah jenis-jenis cover yang gua klasifikasikan berdasarkan pengalaman gua.
- Simbolik. Contoh yang sangat bagus untuk jenis ini adalah 5 CM-nya Donny Dirgantara. Hanya ada tulisan 5 CM dengan all black dan ada emboss tulisan-tulisan lain. Hitamnya ini cowok banget dan bikin penasaran. Bagi gua covernya bagus banget. Tapi bagi gua, isinya not my cup of tea. Contoh lain yang simbolik adalah Soulate-nya Jessica Huwae. Simple, putih dan hanya ada mouse sebagai vocal point dari gambar. Very nice.
- Explicit. Gua dan Ninit sejauh ini cenderung explisit kalo milih cover. Ada gambar orang-orang karena kita pengen covernya ngerelate ke ceritanya. Bagi gua dari semua cover kita, yang paling bagus adalah cover testpack.
- Permen. Warnanya extreme pink, extreme red. Cover-cover seperti ini lumayan menonjol disbanding buku-buku lain ketika mereka dipajang berbarengan.
III.1.2. Back Cover Comments
III.1.3. Synopsis
Jaman sekarang ketika dia pergi ke gramedia untuk beli buku fiksi, dia bingung. Ada berbagai judul untuk semua genre dan segmen umur. Di sini lah pentingnya sinopsis 1 paragraf di cover belakang. Sinopsis itu tidak akan membantu buku lu terjual. Sinopsis itu akan membantu orang memutuskan apakah dia akan membeli buku lu atau tidak.
III.2. Publishing
III.2.1. Penerbit yang benar
Intinya gini: sampai dengan tahun 2003, penerbit itu masih melihat buku sebagai medium penyaluran karya sastra. Mereka tidak melihat bahwa buku bisa juga sebagai medium hiburan seperti Jomblo dan Lupus. Setelah tahun 2003 baru lah mereka sepertinya sadar bahwa buku juga medium hiburan. Lantas semua penerbit beramai-ramai mencari naskah yang menghibur. Keluar label metropop, teenlit, de el el.
Sebenernya ini sah-sah aja, tapi imbasnya kebanyakan penerbit menurunkan standar kualitas teknik menulis dan penceritaan. Padahal seharusnya mereka tidak melakukan ini. Dari pendapat gua, seharusnya yang terjadi dalam industri buku fiksi adalah:
- tetap menset standar yang tinggi untuk teknik penulisan
- membuka mata lebih lebar untuk genre-genre hiburan.
Gara-gara ini tidak dilakukan, sekarang banyak sekali buku yang beredar. Dan dari semua yang gua pelajari, gua bisa bilang banyak juga dari buku yang beredar itu sub-standard dalam aspek yang berbeda-beda. Nah di sini gua delete beberapa contoh yang gua temukan karena gua mendapati ada orang-orang yang merasa, kelemahan-kelemahan yang gua spot itu bukan kelemahan. Ya sudah silahkan percaya sama masing-masing.
Yang jelas, penerbit tidak ingin kehilangan kesempatan memiliki lupus kedua sehingga mereka tidak memperhatikan kualitas-kualitas yang selama ini mereka junjung. Padahal kalo kita liat lupus dulu, meski pun konyol, dia tetap memakai teknik menulis yang descent. Dulu penulis harus sabar editor baca naskah 3 bulan. Sekarang, kasus paling parah yang gua pernah tahu adalah masukin siang, sorenya di-approve.
Makanya, berikut adalah hal-hal yang harus dicermati dari penerbit:
- Jika approvalnya sangat cepat (1 hari), maka lu harus hati-hati. Logisnya, penerbit menerima puluhan jika tidak belasan naskah tiap hari. Kecil kemungkinan naskah lu bisa dibaca dalam 1 hari. Kalo responnya secepat ini, takutnya mereka gak care akan karya lu, mereka cuman gak pengen kehilangan kesempatan aja.
- Dan lu harus selalu cari penerbit yang care pada penulisnya. Jangan masukin karya fiksi lu ke penerbit buku pertanian. Gak cocok. Lihat baik-baik genre lu dan genre dari penerbit lu.
- Nisha Rahmanti yang pernah nulis Cintapuccino pernah bilang sesuatu yang valid : milih penerbit itu kayak milih pacar. Lu mesti cocok sama mereka. Ada beberapa penerbit yang sangat selektif dengan penulis-penulisnya sehingga penulis yang bernaung di bawah mereka tidak banyak. Tapi penulis-penulis yang mereka ambil sangat mereka sayang. Promonya didukung abis-abisan. Ada penerbit yang penulisnya sejuta umat. Tapi ketika lu telfon dan tanya bagaimana perkembangan mereka gak nanggep.
III. 2.2. Cara masukin buku ke penerbit
- Draft dijilid rapih. Ini agar halamannya gak lepas-lepas.
- Kasih 1 halaman sinopsis menjelaskan isi cerita lu. Ini pentig banget agar dalam waktu singkat penerbit bisa memutuskan apakah draft lu lebih layak dibaca ketimbang ratusan draft lain di meja mereka.
- Kasih ½ halaman A4 yang tentang mengapa menurut lu buku lu layak dibaca dan
diterbitkan. - Di dalam draftnya, pake halaman. Ini aja banyak yang melakukannya.
- Di dalam draftnya, pake daftar isi. Ini akan membantu penerbit menerka flow dari
cerita dalam buku lu. - Kalo bisa dateng ke penerbitnya dan kasih langsung ke editor. Kalo ini sih gua aja.
Gua lebih suka mereka ketemu gua in person, agar lebih meyakinkan. Kalo beda
kota, kasih aja lewat pos atau lewat email, tapi 5 poin di atas harus ada.
III.3. Marketing
’Yang penting gua nulis buku’
Ini gua bilang sebagai mental seniman tapi gak bisa jualan. Trus, mereka bilang
‘Oh sori, buku gua karya seni, gak komersil kayak lo. (bikin darah tinggi gak sih?) Yang penting gua nyumbang sesuatu ke khazanah sastra Indonesia.’
Nulis buku kalo gak dibaca juga mereka gak akan dapet manfaatnya kali. Ngapain kita bikin karya seni tapi gak ada yang baca? Karya seni kita gak akan ada gunanya kalo gak ada yang baca. Jujur gua punya prinsip bahwa penulis yang baik itu adalah penulis yang bukunya dibaca banyak orang dan bukan untuk alasan komersil. Rantainya:
‘ah penerbit X mah gencar promosi doang, isinya gak nyastra. Kita dong nerbitin karya sastra.’
Ini perkataan yang bener-bener pernah keluar dalam persaingan penerbit. Masalahnya, kalo kita nerbitin karya sastra, kita punya tanggung jawab lebih untuk masarin dengan lebih baik kan? Bukan kah karya sastra akan mencerdaskan kehidupan bangsa? Ini mereka gak lakukan.
Memang benar bahwa buku adalah karya seni tapi ketika karya seni itu dicetak 3000 kopi, karya seni itu berubah jadi prioduk massal yang mana kalo gak terjual, penulis akan rugi (baca rantai atas). Jadinya otak komersil kita juga mesti jalan. Otak yang komersil tidak melambangkan buku yang komersil juga kok. Otak yang komersil untuk karya tulis yang berseni akan menguntungkan semua pihak pembaca, penerbit dan diri kita sendiri untuk menjadi penulis yang lebih baik. Intinya: marketing itu penting dan mendukung kita menjadi penulis yang lebih baik.
III.3.1. Market your book
Berikut adalah hal-hal yang lu bisa lakukan untuk promo buku lu. Yang di bawah ini juga tanggung jawab departemen promo lu. Jadi jangan takut melakukan ini sendirian. Kalo penerbit lu bagus, departemen promonya biasanya ngerti ini:
- temu wicara / road show di kampus-kampus
- sediakan 50 kopi dan kirim ke media massa terkait untuk direview. Tapi ini gambling juga. Kalo buku lu jelek, lu dibantai.
- targetin beberapa radio dan lakukan talk show di sana. Sesuaikan segmen radionya
dengan segmen buku lu. Kalo bikin chicklit gak perlu ke radio dangdut. - Bikin blog.
- Gabung ke milis-milis, perkenalkan diri lu dan buku lu.
_______________________________________________________
Ya udah. Gitu aja. Semoga berhasil dengan buku pertama lu. Semoga REVISI DARI posting ini membantu.
Rgds, Adhitya